Menuju Kedaulatan Teknologi: Hemat Devisa, Cegah Spionase, Naikkan PPh Badan | ILCW
Berita Oleh Administrator Jumat, 28 Maret 2025 09:47
Di era digital saat ini, bela negara tidak lagi hanya dilakukan di medan perang fisik, tetapi juga di ruang digital. Kedaulatan teknologi menjadi medan strategis baru yang menentukan masa depan bangsa. Ketika Indonesia memilih untuk membangun dan menggunakan produk teknologi dalam negeri secara masif—baik software maupun hardware—maka kita bukan hanya sedang melindungi data dan infrastruktur vital, tetapi juga sedang memperkuat fondasi ekonomi nasional dan memperbesar penerimaan negara melalui pajak. Gunakan produk dalam negeri, karena di sanalah letak kedaulatan teknologi, ekonomi, dan pajak bangsa berpijak.
1. Optimalisasi Devisa melalui Strategi Belanja Teknologi Domestik: Pilar Kemandirian Digital dan Daya Saing Ekonomi
Dalam lanskap ekonomi digital global saat ini, ketergantungan Indonesia terhadap teknologi impor masih sangat tinggi—mulai dari perangkat lunak seperti sistem operasi dan aplikasi produktivitas, hingga infrastruktur kritikal seperti server, chip, dan layanan komputasi awan (cloud computing). Ketergantungan ini menciptakan ketidakseimbangan struktural dalam neraca pembayaran, di mana aliran devisa mengalir deras ke luar negeri tanpa memberikan nilai tambah yang berkelanjutan bagi perekonomian nasional.
Contoh Spesifik Penggantian Produk Impor dengan Solusi Lokal:
- Cloud Platform: VMware, Hyper-V (Microsoft), Red Hat OpenShift, Nutanix, Sangfor, Huawei, H3C, Proxmox, Google Cloud Platform dan lain lainnya dapat digantikan oleh AwanIO, solusi buatan dalam negeri yang mendukung kebutuhan komputasi awan dengan keamanan data di dalam yurisdiksi Indonesia.
- Big Data: Cloudera, Google BigQuery, dan Azure Synapse Analytics dapat digantikan ONYX Big Data Platform, yang dirancang untuk mengolah data skala besar dengan dukungan lokal.
- Process Automation: Tools seperti UiPath, ABBYY, Kofax, dan lainnya dapat digantikan oleh ProSnap, platform otomasi buatan anak bangsa yang lebih sesuai dengan kebutuhan industri lokal.
Alih strategi ke arah belanja teknologi domestik memberikan efek berganda (multiplier effect) yang signifikan:
- Penghematan dan Retensi Devisa: Triliunan rupiah tetap di dalam negeri dan berputar di ekosistem digital lokal.
- Stimulasi Industri Digital: Adopsi solusi lokal seperti AwanIO mendorong tumbuhnya data center nasional dan lapangan kerja baru.
- Potensi Ekspor: Produk seperti AwanIO atau ONYX dapat menjadi komoditas ekspor, sebagaimana India mengekspor layanan TCS dan Infosys.
Studi Kasus: Transformasi Digital India
India merupakan contoh negara berkembang yang berhasil mengubah struktur ekonominya melalui kemandirian teknologi. Program "Digital India" dan "Make in India" tidak hanya mendorong substitusi impor, tetapi juga melahirkan raksasa-raksasa IT seperti TCS, Infosys, dan Wipro. Menurut NASSCOM, sektor TI India membukukan pendapatan sebesar $194 miliar pada 2023, dan menjadi salah satu penyumbang terbesar terhadap surplus jasa dan devisa negara.
2. Pencegahan Spionase Digital dan Ketahanan Siber: Pentingnya Kedaulatan Teknologi sebagai Pilar Pertahanan Nasional
Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, spionase siber telah berkembang menjadi salah satu ancaman paling serius terhadap kedaulatan suatu negara. Kemandirian teknologi bukan semata tentang efisiensi, tetapi soal kelangsungan negara dalam menghadapi ancaman hibrida (hybrid threats). Di era peperangan generasi kelima (fifth-generation warfare), medan tempur telah bergeser ke dunia digital. Maka dari itu, investasi dalam teknologi dalam negeri adalah investasi dalam kedaulatan dan ketahanan nasional.
Ketergantungan Indonesia terhadap teknologi asing—khususnya dari negara-negara dengan kepentingan geopolitik tinggi—secara langsung membuka potensi kerentanan pada tiga aspek strategis utama:
- Kebocoran data sensitif: termasuk intelijen negara, dokumen rahasia pemerintah, data militer, keuangan, dan infrastruktur kritis.
- Infiltrasi melalui backdoor: celah tersembunyi dalam perangkat lunak atau firmware yang dapat diaktifkan kapan saja oleh pihak asing.
- Serangan siber bermotif politik atau ekonomi: seperti sabotase sistem, disinformasi, dan operasi psikologis (psy-ops).
Mengembangkan Teknologi Nasional: Pilar Ketahanan Siber Berbasis Kedaulatan
Kedaulatan teknologi bukan sekadar ambisi ekonomi, tetapi merupakan pra-kondisi mutlak untuk keamanan nasional jangka panjang. Dengan mengembangkan dan mengoperasikan teknologi secara mandiri, Indonesia akan memiliki:
✔ Otoritas Audit Penuh terhadap Source Code
Kemampuan untuk mengakses dan mengaudit kode sumber memungkinkan negara memastikan tidak adanya elemen tersembunyi (malicious script, backdoor, spyware) yang dapat dimanfaatkan oleh aktor negara asing atau kelompok kriminal.
✔ Perlindungan Maksimal terhadap Infrastruktur Kritis
Dengan membangun sistem operasi, perangkat lunak, dan layanan cloud secara nasional, Indonesia dapat menjamin bahwa data penting—termasuk dari sektor perbankan, pertahanan, kepolisian, dan layanan publik—tidak keluar dari yurisdiksi Indonesia.
✔ Reduksi Risiko Geopolitik
Sejarah menunjukkan bahwa dalam konflik geopolitik, vendor asing dapat sewaktu-waktu melakukan pemutusan layanan, pemblokiran akses, atau sabotase terselubung. Kasus pemutusan kerja sama teknologi antara Huawei dan AS menjadi contoh nyata bagaimana ketergantungan digital dapat dimanfaatkan sebagai alat tekanan politik.
Belajar dari Cina dan Rusia dalam Kedaulatan Siber
- Cina telah membangun Great Firewall dan mengembangkan sistem operasi HarmonyOS untuk menggantikan ketergantungan terhadap Android milik Google. Negara ini juga mengembangkan alternatif lokal untuk hampir seluruh layanan digital Barat, termasuk mesin pencari, aplikasi perpesanan, dan cloud service.
- Rusia, pasca sanksi geopolitik, mempercepat adopsi sistem operasi Aurora OS untuk seluruh instansi pemerintah guna menggantikan sistem asing yang rawan disusupi (Reuters, 2021). Selain itu, Rusia memperkuat kontrol atas infrastruktur internet domestiknya melalui konsep "Runet" (Russian Internet).
3. Belanja Teknologi dan Urgensi PPh Badan: Pilihan Strategis untuk Kedaulatan Fiskal
Dalam ekosistem digital saat ini, belanja teknologi bukan hanya soal efisiensi operasional. Ia adalah alat fiskal yang sangat strategis. Perbedaan antara membeli teknologi dari perusahaan asing dan perusahaan dalam negeri berdampak langsung pada kemampuan negara dalam memungut Pajak Penghasilan (PPh) Badan—salah satu pilar penerimaan APBN.
Ketika belanja diarahkan ke perusahaan teknologi dalam negeri, negara memiliki kontrol penuh atas pemajakan. Laba dikenai PPh Badan sebesar 22%, dan seluruh proses terdata serta diawasi secara transparan. Ini tidak hanya menambah penerimaan negara, tapi juga memperkuat siklus ekonomi lokal: gaji karyawan, reinvestasi, dan R&D terjadi di dalam negeri.
Sebaliknya, ketika belanja jatuh ke tangan perusahaan asing, PPh Badan sering tak bisa dipungut secara optimal karena mereka tidak berdomisili di Indonesia. Yang terjadi adalah repatriasi laba ke luar negeri dan potensi praktik transfer pricing yang sulit diawasi. Skema perpajakan global seperti OECD BEPS dan Pilar 1 & 2 masih jauh dari sempurna implementasinya.
Dari perspektif ekonomi makro, mengalihkan belanja TI ke produk dalam negeri adalah langkah nyata untuk meningkatkan tax ratio, menekan defisit fiskal, dan menciptakan efek berganda—baik dalam lapangan kerja, pertumbuhan industri, hingga penguatan kedaulatan digital.
Pilihan kita sederhana: terus menyumbang keuntungan pada perusahaan asing yang tak bisa dikenai pajak, atau membangun ekosistem digital nasional yang sehat, inovatif, dan menopang fiskal negara. Di era digital, membeli produk dalam negeri bukan hanya soal cinta tanah air—tapi soal logika fiskal yang cerdas.
Studi Kasus: Strategi Fiskal Digital Korea Selatan
Kebijakan "Digital Korean New Deal" secara eksplisit mendorong konsumsi teknologi dari pelaku lokal seperti Samsung, LG CNS, dan NAVER. Hasilnya:
- Kontribusi PPh Badan dari sektor teknologi meningkat drastis.
- Ekosistem startup digital berkembang.
- Pemerintah mampu mengatur arsitektur fiskal secara mandiri dan berdaulat.
Langkah Strategis untuk Indonesia
- Pemerintah: Prioritaskan pengadaan teknologi lokal (contoh: VMware, Hyper-V (Microsoft), Red Hat OpenShift, Nutanix, Sangfor, Huawei, H3C, Proxmox, Google Cloud Platform dan lain lainnya ke AwanIO di instansi Pemerintah dan BUMN).
- Swasta: Kolaborasi dengan startup lokal untuk pengembangan solusi spesifik, seperti ProSnap untuk otomasi industri.
- Akademisi/UMKM: Manfaatkan platform big data lokal seperti ONYX untuk riset dan pengembangan bisnis.
Tantangan dalam Mewujudkan Kedaulatan Teknologi
Meski manfaatnya jelas, transisi ke teknologi dalam negeri menghadapi tantangan nyata yang perlu diatasi:
- Mindset Operasional yang Masih Bergantung pada Produk Asing
- Pengguna teknologi di level operasional sering menganggap produk luar negeri lebih unggul, sementara keputusan pengadaan jarang melibatkan manajemen puncak.
- Contoh: Tim IT di instansi pemerintah lebih memilih VMware karena familiaritas, meski AwanIO telah memenuhi standar keamanan dan fungsionalitas.
- Tidak efektifnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah khususnya P3DN terhadap sosialisasi penggunaan Produk Dalam Negri
- Pemimpin instansi (pemerintah/BUMN) kurang memantau kepatuhan terhadap TKDN.
- Fakta: Audit BPK 2023 menemukan 60% pengadaan TI di kementerian tidak memenuhi ketentuan TKDN.
- Sanksi yang Tidak Tegas
- Pelanggaran aturan TKDN jarang diberi sanksi konkret, sehingga tidak menciptakan efek jera.
- Sosialisasi Produk Lokal yang Minim
- Pemerintah kurang gencar memperkenalkan solusi dalam negeri seperti AwanIO , ONYX, ProSnap dan lainnya kepada pasar.
Estimasi Manfaat dan Potensi Pasar
Pada tahun 2025, pendapatan yang diproyeksikan dari pasar perangkat lunak (software) di Indonesia diperkirakan akan mencapai US$1,29 miliar.
Segmen pasar yang mendominasi adalah perangkat lunak untuk perusahaan (Enterprise Software), dengan volume pasar yang diproyeksikan mencapai US$546,35 juta pada tahun yang sama.
Ke depan, pendapatan pasar ini diperkirakan akan tumbuh dengan laju pertumbuhan tahunan (CAGR) sebesar 7,99% selama periode 2025–2029, sehingga pada tahun 2029, total volume pasar diperkirakan mencapai US$1,75 miliar.
Pasar perangkat lunak di Indonesia saat ini mengalami lonjakan permintaan terhadap solusi berbasis cloud, yang bertujuan untuk mendukung kerja jarak jauh serta inisiatif transformasi digital di berbagai sektor.
Kebijakan Pendukung yang Sudah Ada
Indonesia memiliki kerangka hukum kuat untuk mendorong kedaulatan teknologi:
- Undang-Undang No. 3/2014 tentang Perindustrian: Menjamin perlindungan dan pemberdayaan industri dalam negeri.
- PP No. 29/2018 tentang Pemberdayaan Produk Dalam Negeri (PDN): Mengatur pengutamaan produk lokal dalam pengadaan pemerintah.
- Perpres No. 16/2018 (diubah No. 12/2021): Memperkuat ketentuan TKDN dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
- Inpres No. 2/2022 tentang Gerakan Bangga Buatan Indonesia: Instruksi konkret untuk meningkatkan penggunaan produk dalam negeri di seluruh instansi.
Tantangan Implementasi Kebijakan yang ada:
- Regulasi ini sering tidak dijalankan secara konsisten di tingkat operasional.
- Perlu sosialisasi masif dan sanksi tegas bagi pelanggar.
Penutup: Gunakan Teknologi Dalam Negeri, Wujudkan Kedaulatan Bangsa
Membangun kedaulatan teknologi bukan lagi pilihan, tapi kewajiban sejarah! Ini bukan sekadar soal inovasi—ini soal menyelamatkan pertahanan bangsa, menegakkan kemandirian ekonomi, dan memastikan masa depan fiskal Indonesia tidak dikendalikan oleh bangsa lain.
Di tengah ketergantungan tinggi pada teknologi asing, saatnya seluruh elemen bangsa—masyarakat, instansi pemerintah, lembaga negara, dan BUMN—membuktikan keberpihakan sejatinya. Gunakan produk dalam negeri bukan karena terpaksa, tetapi karena sadar dan bangga bahwa teknologi buatan anak bangsa adalah bagian dari kekuatan nasional.
Setiap rupiah yang dibelanjakan untuk teknologi luar negeri tanpa urgensi strategis, sejatinya adalah pengkhianatan halus terhadap potensi negeri sendiri:
- Devisa mengalir ke luar, memperlemah neraca pembayaran dan ketahanan ekonomi nasional.
- Lapangan kerja hilang, karena peluang inovasi dan produksi diserahkan ke luar negeri.
- Potensi pajak nasional lenyap, karena perusahaan asing tak terjangkau yurisdiksi fiskal kita.
- Data strategis bangsa terancam, karena sistem asing membuka ruang bagi spionase digital, sabotase, dan infiltrasi tersembunyi.
Memang, pemerintah telah mengatur kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dalam berbagai kebijakan dan regulasi. Namun, implementasinya masih lemah. Banyak pemimpin instansi yang abai, bahkan bersikap dingin terhadap solusi digital buatan Indonesia. Padahal, di sanalah sebenarnya letak pertaruhan atas masa depan bangsa.
Oleh karena itu, pemerintah pusat harus mengambil sikap tegas, bukan sekadar membuat aturan, tetapi memastikan pelaksanaan nyata dan konsisten di seluruh lini birokrasi dan BUMN. Ini bukan soal ego vendor lokal, ini soal hak rakyat atas kedaulatan digital dan fiskal.
Kita tidak boleh kalah di medan perang siber. Kita tidak boleh hanya menjadi pasar.
Kita harus berdiri tegak sebagai bangsa yang berdaulat, termasuk dalam urusan teknologi.
Dan itu hanya bisa terjadi, bila kita semua—tanpa kecuali—berani memilih dan menggunakan teknologi produk dalam negeri, hari ini juga.
Penulis: ILCW Team
Referensi:
- NASSCOM India IT Report, 2023
- Reuters, Russia IT Strategy, 2021
- Statista Software Outlook Indonesia, 2024 (https://www.statista.com/outlook/tmo/software/indonesia)
- Audit BPK TKDN, 2023 (https://wartapemeriksa.bpk.go.id/?p=54804)
Artikel Terpopuler
Komentar